Kita tumbuh dengan diajarkan untuk jadi orang baik, untuk peduli, untuk memahami orang lain. “Coba pahami perasaannya,” kata guru, orang tua, bahkan teman.
Dan memang, empati adalah salah satu hal paling manusiawi yang bisa kita miliki. Dunia butuh lebih banyak orang yang bisa merasakan, bukan hanya berpikir. Tapi di sisi lain, jarang ada yang ngajarin kita tentang satu hal penting: batas.
Soalnya, empati tanpa batas sering kali berubah jadi luka.
Kita terlalu sibuk jadi penyembuh buat orang lain, sampai lupa menyembuhkan diri sendiri.
Terlalu Memahami, Tapi Tak Pernah Dipahami
Kamu mungkin tahu rasanya jadi orang yang selalu siap dengerin cerita orang lain. Orang datang padamu untuk curhat, minta nasihat, atau sekadar tempat meluapkan emosi. Kamu dengarkan, kamu pahami, kamu coba bantu semampumu.
Tapi ketika kamu yang lagi butuh bahu, entah kenapa dunia terasa sepi.
Kamu nggak menyalahkan siapa-siapa — kamu cuma merasa capek. Capek karena semua energi terkuras untuk orang lain, tapi nggak ada yang benar-benar nanya, “kamu sendiri gimana?”
Dan kamu pun terus menenangkan diri, bilang “nggak apa-apa, aku kuat kok.”
Padahal kekuatan yang nggak pernah diistirahatkan pelan-pelan berubah jadi kelelahan yang mendalam.
Ada pepatah yang bilang, “You can’t pour from an empty cup.” Kamu nggak bisa terus memberi kalau wadahmu sendiri sudah kosong. Kadang, yang paling butuh dipahami justru diri sendiri yang kamu abaikan terlalu lama.
Rasa Bersalah yang Datang dari Kepedulian
Salah satu hal paling sulit dari punya empati besar adalah rasa bersalah saat nggak bisa bantu.
Kamu tahu seseorang lagi kesulitan, tapi kamu sendiri juga lagi rapuh. Logikanya, kamu berhak istirahat. Tapi hatimu menolak — kamu takut dikira egois, takut bikin orang kecewa.
Sampai akhirnya, kamu bantu juga, meskipun dalam keadaan setengah hancur.
Dan setelah itu, kamu malah merasa lebih kosong.
Empati yang sehat itu seharusnya menumbuhkan, bukan menguras.
Sometimes caring too much means hurting yourself in silence. Kamu bisa tetap peduli tanpa harus menyelamatkan semua orang.
Kalau kamu terus menanggung beban emosi orang lain, lama-lama kamu kehilangan rasa untuk dirimu sendiri. Kamu jadi mudah cemas, mudah sedih, bahkan sulit bahagia — bukan karena hidupmu buruk, tapi karena kamu terlalu banyak menyerap emosi yang bukan milikmu.
Empati Bukan Tentang Menyelamatkan
Kita sering salah paham: mengira empati berarti harus ikut menanggung semuanya. Padahal, empati sejati bukan tentang menjadi penyelamat.
Itu tentang hadir, mendengar, dan memahami, tanpa harus larut di dalamnya.
Kamu bisa bilang, “aku peduli,” sambil tetap menjaga jarak yang sehat.
Kamu bisa bilang, “aku paham kamu sedih,” tanpa harus tenggelam dalam kesedihan itu juga.
You can be kind without carrying someone else’s pain. Kalimat sederhana ini kedengarannya ringan, tapi isinya dalam banget. Karena sering kali, yang bikin kita paling lelah bukan perasaan orang lain — tapi rasa bersalah karena nggak bisa menyelamatkan mereka.
Empati nggak menuntut kamu untuk selalu kuat. Justru dengan mengakui batasmu, kamu belajar mencintai orang lain dan diri sendiri dengan cara yang lebih manusiawi.
Ketika “Menolong” Berubah Jadi “Menyakiti Diri Sendiri”
Mungkin kamu pernah ada di situasi di mana kamu terus berusaha memperbaiki seseorang — entah teman, pasangan, atau keluarga. Kamu pikir, kalau kamu cukup sabar dan baik, semuanya akan berubah.
Tapi kenyataannya, yang berubah justru kamu. Kamu jadi orang yang lelah, kehilangan arah, bahkan mulai ragu pada nilai dirimu sendiri.
Ada kalimat dari Brené Brown yang sangat relevan:
“Empati tanpa batas bisa menjadi bentuk pengabaian diri.”
Artinya, ketika kamu menempatkan kebutuhan orang lain jauh di atas kebutuhanmu sendiri, kamu perlahan kehilangan jati dirimu.
Kamu nggak lagi tahu apa yang kamu mau, kamu cuma tahu apa yang orang lain butuh.
Padahal, empati yang paling sejati justru muncul dari tempat yang penuh — dari hati yang tenang, dari diri yang cukup.
Menjaga Diri Bukan Berarti Kamu Egois
Kita sering takut terlihat egois saat menarik diri. Tapi menjaga diri bukan berarti berhenti peduli. Itu cara lain untuk bilang, “aku juga manusia.”
Kadika pernah bilang, “Loving yourself is also an act of kindness.” Dan itu benar banget.
Karena kalau kamu mencintai diri sendiri, kamu nggak akan memberikan cinta yang lelah pada orang lain. Kamu akan memberi dari tempat yang utuh, bukan dari sisa-sisa energi.
Mulailah dari hal kecil: istirahat tanpa rasa bersalah, jujur ketika kamu nggak sanggup, dan izinkan diri untuk bilang “tidak.”
Empati yang sehat tumbuh dari keberanian untuk menetapkan batas.
Empati yang Sehat Dimulai dari Diri Sendiri
Empati bukan cuma tentang memahami orang lain, tapi juga memahami diri sendiri.
Tentang tahu kapan harus hadir, dan kapan harus mundur untuk menyembuhkan diri.
Kamu tetap bisa jadi orang yang baik, tanpa harus terus jadi penolong.
Kamu tetap bisa peduli, tanpa harus kehilangan ketenanganmu.
Karena di akhir hari, empati sejati bukan tentang berapa banyak orang yang kamu tolong, tapi seberapa dalam kamu bisa mendengarkan hatimu sendiri.
Dan mungkin, di situlah versi paling tulus dari empati bisa tumbuh — bukan dari rasa bersalah, tapi dari kasih yang seimbang antara kamu dan dunia di sekitarmu.